Selasa, 02 Juli 2013

BOLA, Ternyata Move On itu susah



Siapa yang pernah patah hati dan harus move on dari rasa sakit dalam patah hati? Pasti banyak yang merasakan hal tersebut dan siapa bilang move on itu hanya ada di persoalan cinta dalam kehidupan nyata? Di sepakbola itu juga ada kok, malah banyak orang yang masih gagal move on dan terjebak di ruang nostalgia.
Mungkin, banyak yang gagal move on dari pemain atau pelatih dari satu klub yang mereka dukung. Contohnya masih banyak fans Arsenal yang sulit untuk melupakan ketajaman dari seorang mantan kapten yang telah menjual dirinya kepada setan. Kehadiran Podolski dan Giroud masih di anggap kurang tajam dan kurang memiliki dampak yang berarti bagi Arsenal, samakan kaya misalnya habis putus terus jadian lagi, pasti sering kita membandingkan mantan dengan pacar yang baru. Indikatornya sepele sih, cuman karena merasa mantan lebih mengenal kita daripada pacar yang baru.
Semua butuh yang namanya masa transisi dan pembiasaan, tidak ada yang instan dan mie instan saja harus ada proses yang dilalui terlebih dahulu sebelum memakannya. Podolski dan Giroud baru pertama kali menginjakan kakinya dan berkompetisi di Inggris, perbedaan kompetisi dan gaya permainan di klub pun membuat mereka harus menjalani hal proses tersebut. Padahal kalau misalnya melihat dari jumlah gol yang mereka ciptakan di musim pertamanya pun tidak terlalu rendah.
Atau tidak bisa lepas dari bayang-bayang unbeaten yang indah dan menyenangkan bagi pengikut aliran arsenaliyah ini. Hmm,ternyata sudah sembilan tahun yang lalu raihan fantastis ini mereka buat. Iya, sembilan tahun yang lalu Arsenal adalah pasangan serasi bak film India bersama dengan Manchester United sebelum orang kaya asal Rusia datang merubah segalanya.
Saya sendiri bosan ketika mendengar setiap para gooner berteriak lantang mengagung-agungkan piala emas yang mereka raih. Berbicara soal piala emas, PSMS saja sudah berkali-kali mendapatkan piala emas yang versi Piala Emas Bang Yos sih. Satu trophy unbeaten dengan balutan emas itu lebih berharga daripada 20 trophy perak. Iya… iya… move on atuh kang, udah sembilan tahun loh dan sekarang masih puasa gelar loh, mau sampai kapan membanggakan trophy tersebut?
Terjebak di ruang nostalgia. Mungkin sih, itu yang dirasakan oleh Liverpool dengan masa-masa kejayaan yang indah dulu. Semenjak berubah menjadi Premier League, di saat itu pula Liverpool mengalami masa surut untuk kembali menjadi juara di kompetisi tertinggi di Inggris. Raihan trophynya terkejar dan bahkan terlewati oleh rival mereka, tapi tenang setidaknya kopites tidak begitu merana dan berlama-lama untuk berpuasa gelar seperti gooners.
Sepeninggalnya Rafa, Liverpool pun mengalami masa-masa naik turun. Semasa kehadiran Rafa, semuanya terasa begitu indah sampai akhirnya mereka berhasil dua kali masuk final, dan di final sepertinya mereka telah berjodoh dengan AC Milan. Dua kali final dan dua kali pun mereka bertemu, untungnya dalam dua pertemuan itu mereka sama kuat, sama-sama membagi satu kemenangan di final. Tapi, Liverpool itu adalah klub ajaib! Waktu itu saya masih SMP dan menyaksikan partai final dari layar kaca. Entah apa yang dikatakan oleh Rafa saat itu, yang jelas keajaiban hadir dan membuktikan bahwa sepakbola sulit di prediksi, Milan yang sudah unggul 3 gol harus dipaksa untuk kejebolan 3 gol dan takluk oleh Liverpool di Istanbul.
Kalau misalnya fans Liverpool diberikan pertanyaan, apakah mereka akan menerima Torres dan Rafa kembali ke Anfield?
Sepakbola itu kaya kehidupan dimana kita harus move on, meski terkadang awalnya sulit untuk berjalan maju dengan tidak membanding-bandingkan atau membanggakan masa lalu kita, tapi untuk sesuatu yang lebih baik lagi di depannya kita harus move on.
Seolah kita sudah menikmati keindahan kejayaan lalu dan terlalu berpuas diri dengan raihan itu. Sama kaya halnya saat pacaran, semuanya awalnya terasa indah dan manis hingga akhirnya di akhir terasa pahit ketika menyadari semuanya telah berakhir. Bukannya untuk mencari yang baru lagi, malah membayangkan yang akhirnya terlena dan terbuai dengan kisah bersama sang mantan. Ketika menemukan yang baru, di awalnya malah dibandingkan dengan mantan tersebut.
Iya, Arsenal dan Liverpool seakan dipertemukan dalam satu persamaan nasib yang terlena dalam kisah nostalgia. Banyak dari mereka yang sulit untuk move on dari masa-masa kejayaan mereka. Sulit untuk menyadari bila yang sedang terjadi saat ini sudah berbeda dan tidak seperti yang dulu lagi.
Mungkin untuk fans Arsenal, masih berharap seandainya Cesc, Nasri, Clichy, atau RVP tidak pergi dari Arsenal pasti Arsenal akan juara atau mengulangi kembali raihan tak terkalahkan dalam satu musim. Tapi, ini bukan alam mimpi yang penuh dengan kata seandainya, ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterima bahwa pemain-pemain tersebut telah tak berseragam dengan lambang meriam di dadanya. Berhenti untuk membandingkan pemain-pemain tersebut dengan pemain yang masih ada untuk Arsenal, tetaplah berharap bila musim depan kalian dapat membuka keran gelar lagi.
Saya berharap sih fans Liverpool bersabar dan tetap menantikan sentuhan dari Rodgers bagi masa depan mereka. Liverpool adalah klub besar dan punya sejarah yang besar, dalam hati saya, saya yakin bila suatu saat nanti mereka akan menemukan tempat seharusnya mereka berada dan tentunya untuk mengangkat trophy EPL tapi kapan? Suatu saat nanti, percayalah karena semua indah pada waktunya.
Sekarang, pensiunnya SAF dan beralihnya tongkat ke tangan Moyes di tubuh Manchester United. Bersabarlah bila dalam beberapa musim ke depan penampilan MU masih terlihat labil. Tapi, Manchester United adalah Manchester United yang tetap haus dan lapar akan kemenangan.
Sulit rasanya untuk keluar dari bayang-bayang kejayaan, dan kalimat move on itu bukanlah sebuah kalimat yang mudah untuk dilakukan pada kenyataannya. Heei… kompetisi itu berbicara untuk masa depan, masa lalu biarlah menjadi sebuah kenangan yang indah dan tak lekang oleh waktu.
Siap atau tidak siap, kalian akan merasakan yang namanya masa-masa sulit dan bila itu sedang terjadi dalam klub yang kalian dukung. Move on lah dari kenangan indah masa lalu, dukung dan tataplah masa depan untuk klub kalian.
Dan bila kalian benar mencintai dan mendukung klub tersebut, move on itu bukannya pindah klub di saat masa sulit tapi move on itu berhenti membandingkan keadaan klub di masa jaya dengan masa sulit. Karena, semuanya telah beda dan berubah.